Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Teori Metakognisi

gambar koleksi google


Metakognisi merupakan istilah yang dikenalkan oleh Flavell pada tahun 1976. Flavel menyatakan bahwa metakognisi berarti kemampuan untuk memikirkan tentang bagaimana cara belajarnya. Melalui kemampuan memikirkan cara belajarnya dapat diperoleh informasi bagaimana keberhasilan belajarnya sehingga dapat diperbaiki untuk pembelajaran selanjutnya. 

Dawson (Desoete, 2011: 231) menjelaskan bahwa keterampilan metakognisi merupakan seperangkat kompetensi yang saling berhubungan untuk belajar dan berpikir, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk pembelajaran aktif, berpikir kritis, penilaian reflektif, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan.Terdapat empat kunci keterampilan metakognisi, yaitu planning (perencanaan), monitoring (monitor), evaluating (evaluasi), dan revising (revisi).



A. Strategi Perkembangan Metakognisi 
Blakey & Spence (1990: 351) mengemukakan strategi-startegi atau langkah-langkah untuk meningkatkan keterampilan metakognisi, yakni: 

a. Mengidentifikasi “apa yang kau ketahui” dan “apa yang kau tidak ketahui”.Memulai aktivitas pengamatan, siswa perlu membuat keputusan yang disadari tentang pengetahuan mereka. Dengan menyelidiki suatu topik, siswa akan menverifikasi, mengklarivikasi dan mengembangkan, atau mengubah pernyataan awal mereka dengan informasi yang akurat. 

b. Berbicara tentang berpikir (Talking about thinking). Selama membuat perencanaan dan memecahkan masalah, guru boleh “menyuarakan pikiran”, sehingga siswa dapat ikut mendemonstrasikan proses berpikir. Pemecahan masalah berpasangan merupakan strategi lain yang berguna pada langkah ini. Seorang siswa membicarakan sebuah masalah, mendeskripsikan proses berpikirnya, sedangkan pasangannya mendengarkan dan bertanya untuk membantu mengklarifikasi proses berpikir. 

c. Membuat jurnal berpikir (keeping thinking journal).Cara lain untuk mengembangkan metakognisi adalah melalui penggunaan jurnal atau catatan belajar. Jurnal ini berupa buku harian dimana setiap siswa merefleksi berpikir mereka, membuat catatan tentang kesadaran mereka terhadap kedwiartian (ambiguities) dan ketidakkonsistenan, dan komentar tentang bagaimana mereka berurusan/menghadapi kesulitan. 

d. Membuat perencanaan dan regulasi-diri.Siswa harus mulai bekerja meningkatkan responsibilitas untuk merencanakan dan meregulasi belajar mereka. Sulit bagi pebelajar menjadi orang yang mampu mengatur diri sendiri (self-directed) ketika belajar direncanakan dan dimonitori oleh orang lain. 

e. Melaporkan kembali proses berpikir (Debriefing thinking process). Aktivitas terakhir adalah menfokuskan diskusi siswa pada proses berpikir untuk mengembangkan kesadaran tentang strategi-strategi yang dapat diaplikasikan pada situasi belajar yang lain. Metode tiga langkah dapat digunakan; Pertama: guru mengarahkan siswa untuk mereviu aktivitas, mengumpulkan data tentang proses berpikir; Kedua: kelompok mengklasifikasi ide-ide yang terkait, mengindentifikasi strategi yang digunakan; Ketiga: mereka mengevaluasi keberhasilan, membuang strategi-strategi yang tidak tepat, mengindentifikasi strategi yang dapat digunakan kemudian, dan mencari pendekatan alternatif yang menjanjikan. 

f. Evaluasi-diri (Self-evaluation). Mengarahkan pengalaman-pengalaman evaluasi-diri dapat diawali melalui pertemuan individual dan daftar-daftar yang berfokus pada proses berpikir. Secara bertahap, evaluasi-diri akan lebih banyak diaplikasikan secara independen.



Daftar Pustaka
Desoete, A. 2001. off-line metacognition in Children with Mathematics    LearningDisabilities,Disertation, Universiteit Gent